Syaiful Rijal
Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah
Masyarakat Jawa kuno memiliki filsafat hidup yang dikenal dengan sebutan Kejawen. Kejawen adalah sebuah kebudayaan yang mengajarkan tentang tata krama atau aturan dalam berkehidupan yang lebih baik. Pokok dalam ajaran Kejawen dikenal dengan ”Sangkan Paraning Dumadhi” yang berarti ”dari mana datang dan kembalinya hamba Tuhan”. Ajaran tersebut menjelaskan bahwa orang kuno sejak dulu sudah mengakui keesaan Tuhan.
Islam Kejawen
Islam Kejawen, sebuah istilah yang merujuk pada praktik ke-Islaman yang telah berkembang di Jawa. Dalam praktik ajarannya, Islam berupaya untuk mengintegrasikan nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadis dengan kearifan lokal, adat istiadat, dan spiritualitas Jawa, mengingat kedua hal tersebut termasuk sumber dari syari’at-syari’at Islam.
Jadi Islam Kejawen adalah akulturasi kebudayaan Jawa dengan Agama Islam, sehingga pelaksanaan Ritual Jawa menggunakan Cara yang Islami. Karena pertemuan antara kedua karakter kepercayaan yang berbeda maka terbentuklah sebuah budaya Sinkretis. Sinkretisme merupakan penggabungan unsur-unsur yang saling bertentangan, suatu sikap yang tidak mempermasalahkan benar atau salahnya suatu agama.
Kontekstualisasi Nilai Hadis Nabi dalam Tradisi Kejawen
Beberapa budaya atau tradisi Jawa yang di dalamnya telah memuat nilai / unsur Islami diantaranya ; Nyadran, tedhak siten, mitoni, wetonan, slametan dll. Salah satu integrasi nilai Islami yang terdapat dalam tradisi tersebut diambil dari Hadis Nabi.
Hadis yang dimaksud diantaranya;
حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ ، عَنْ أَبِي مَالِكٍ ، عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ ، عَنْ حُذَيْفَةَ ، قَالَ: قَالَ نَبِيُّكُمْ صلى الله عليه وسلم: «كُلُّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ
Artinya :”Abu Daud bercerita, ia mengatakan Abu ‘Awanah telah bercerita dari Abi Malik, dari Rib’iyy ibn Hirasy, dari Hudzaifah, ia mengatakan bahwa Nabi SAW telah bersabda, “Setiap yang baik itu sedekah.”(HR. Abu Daud, 419. Maktabah Syamilah).
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:………………… وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِيْ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَرَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ اْلمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
Artinya :” “Dari Abi Hurairah RA ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam salah satu rumah Allah SWT, sambil membaca Al-Qur’an bersama-sama, kecuali Allah SWT akan menurunkan kepada mereka ketenangan hati, meliputi mereka dengan rahmat, dikelilingi para malaikat, dan Allah SWT memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (HR Ibn Majah, 225. Maktabah Syamilah).
Kedua hadis di atas menjadi dasar dalam tradisi slametan. Nilai-nilai hadis yang diaktualisasikan dalam ritual/tradisi tersebut berupa shodaqoh, yang diisi dengan acara makan bersama dan kirim doa (tahlilan), sebagai bentuk manifestasi dari ajaran saling berbagi dan mempererat silaturahmi.
Salah satu hadis yang sangat relevan dengan praktik spiritual Jawa ialah hadis tentang “menjaga niat”;
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الأنصاري قال: أخبرني محمد بن إبراهيم التيممي: أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضي الله عنه عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: (إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ ينكحها، فهجرته إلى ما جاهر إليه)
Hadis di atas menjadi acuan dasar dalam laku tirakat, yang mana upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah membutuhkan niat yang lurus / sunguh-sungguh. Laku tirakat ini oleh masyarakat jawa biasa diterapkan melalui meditasi, puasa mutih dsb. Nilai hadis yang diaktualisasikan dalam praktik tersebut ialah pentingnya niat dalam setiap tindakan, guna mencapai tujuan yang dimaksud/diinginkan.
Antropologi Budaya
Nilai hadis dalam tradisi Kejawen dapat dijelaskan melalui pendekatan antropologi budaya dengan menyoroti bagaimana masyarakat Jawa mengintegrasikan ajaran Islam, khususnya hadis, ke dalam tradisi lokal yang kaya akan nilai dan simbol budaya. Berikut adalah beberapa poin yang relevan: Adaptasi dan Sinkretisme, Simbolisme dan Nilai Filosofis Ritual dan Praktek Sosial Peran Wali Songo, Transformasi Nilai Hadis dalam Konteks Lokal
Pendekatan antropologi budaya membantu memahami bagaimana nilai hadis diterjemahkan dan dihidupkan dalam tradisi Kejawen. Proses ini menunjukkan fleksibilitas ajaran Islam yang mampu beradaptasi dengan konteks budaya lokal, menciptakan harmoni antara nilai agama dan tradisi. Hadis tidak hanya menjadi teks normatif, tetapi juga menjadi pedoman hidup yang relevan dengan realitas sosial masyarakat Jawa.