Perjanjian adalah alat yang umum digunakan dalam dunia bisnis dan hukum untuk mengatur hubungan antara dua pihak.
Namun, untuk memastikan bahwa perjanjian tersebut sah dan mengikat, ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi.
Contents
Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dianggap sah dan mengikat. Berikut adalah 4 syarat paling penting untuk dipertimbangkan berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata:
1. Kesepakatan Antar Pihak
Syarat pertama untuk sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak.
Ini berarti bahwa kedua belah pihak harus setuju dengan ketentuan yang dijelaskan dalam perjanjian tersebut dan memiliki niat yang jelas untuk mematuhi komitmen tersebut.
Misalnya, jika Anda berencana untuk menyewa sebuah ruko untuk usaha Anda, Anda dan pemilik ruangan harus setuju dengan harga sewa dan durasi kontrak yang dijelaskan dalam perjanjian. Tanpa kesepakatan yang saling menguntungkan ini, perjanjian tidak akan sah.
2. Kecakapan Hukum
Syarat kedua untuk sahnya perjanjian adalah kecakapan hukum dari kedua belah pihak untuk memasuki perjanjian tersebut. Artinya, kedua belah pihak harus memiliki kapasitas hukum untuk membuat komitmen hukum yang sah.
Hukum Perdata menyatakan bahwa setiap individu dianggap cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika secara undang-undang dinyatakan sebaliknya. Pasal 1330 Hukum Perdata menetapkan bahwa orang yang dianggap tidak cakap adalah sebagai berikut:
- Mereka yang belum dewasa, yaitu mereka yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum menikah. Sebagai contoh, seorang anak berusia 8 tahun tidak memiliki kecakapan untuk membuat perjanjian bagi dirinya sendiri.
- Mereka yang berada di bawah pengampuan, yakni individu yang, meskipun telah dewasa, memiliki keterbatasan mental atau pikiran yang dianggap tidak sempurna, sehingga setara dengan mereka yang belum dewasa. Menurut Pasal 433 Hukum Perdata, seseorang dianggap berada di bawah pengampuan jika mengalami gangguan jiwa, memiliki kecerdasan yang rendah, atau tidak mampu mengatur keuangan mereka dengan baik sehingga mengakibatkan pemborosan yang berlebihan.
Namun, bagaimana jika Anda melakukan transaksi dengan PT atau badan hukum lainnya? Kecakapan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada individu, tetapi juga mencakup wewenang seseorang untuk menandatangani perjanjian.
Misalnya, jika Anda melakukan transaksi dengan PT, maka orang yang memiliki wewenang untuk menandatangani perjanjian atas nama PT adalah direktur sesuai dengan anggaran dasar perusahaan tersebut. Jika direktur tidak dapat menandatangani perjanjian, maka direktur dapat memberikan kuasa kepada manajer atau salah satu anggota tim untuk melakukannya.
Dalam hal ini, penting untuk memahami batasan dan wewenang dalam membuat perjanjian. Dengan memahami aturan-aturan tersebut, Anda dapat menjalankan transaksi dengan lebih efektif dan memastikan bahwa perjanjian yang Anda lakukan sah secara hukum.
3. Adanya Objek Perjanjian
Suatu perjanjian harus mempunyai objek tertentu yang harus nyata dan dapat diukur. Objek ini dapat berupa persyaratan tertulis atau bentuk lain yang ditentukan oleh hukum. Jika hukum mensyaratkan adanya bentuk tertentu, perjanjian yang tidak memenuhi persyaratan tersebut dapat dianggap tidak sah.
Sebagai contoh, dalam suatu transaksi jual beli, Pak Sugeng berniat untuk menjual mobil Honda Jazz berwarna silver yang diproduksi tahun 2015 kepada Pak Budi dengan harga Rp120.000.000. Dalam perjanjian tersebut, Pak Sugeng dengan tegas menyatakan detail barang yang akan dijual, termasuk jenis, harga, dan karakteristik mobil tersebut.
4. Tujuan yang Legal
Syarat selanjutnya adalah bahwa tujuan dari perjanjian tersebut harus legal. Artinya, perjanjian tersebut tidak boleh melibatkan tindakan yang melanggar hukum atau bertentangan dengan kebijakan publik.
Sebagai contoh, sebuah perjanjian untuk melakukan kegiatan ilegal seperti perdagangan narkoba tidak akan dianggap sah. Hal ini karena tujuan perjanjian tersebut melanggar hukum dan tidak sesuai dengan kebijakan publik yang ada.
Akibat Hukum jika Melanggar Syarat Sah Perjanjian
Dari keempat syarat yang harus dipenuhi dalam perjanjian di atas, masing-masing dibagi menjadi dua jenis persyaratan perjanjian.
Syarat pertama dan kedua dalam perjanjian tersebut dikenal sebagai syarat subjektif, karena melibatkan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian. Sementara itu, syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif, karena berkaitan dengan objek perjanjian.
Apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, seperti kesepakatan dan/atau kecakapan pihak-pihak, konsekuensinya perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Namun, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, seperti keberadaan hal tertentu dan/atau sebab yang legal, maka perjanjian tersebut dianggap batal secara hukum.
Untuk memudahkan pemahaman Anda, berikut adalah perbedaan antara keduanya:
1. Perjanjian yang Dapat Dibatalkan
Perjanjian dapat dibatalkan atau voidable, yang berarti salah satu pihak memiliki hak untuk meminta pembatalan. Perjanjian tetap mengikat kedua belah pihak selama tidak dibatalkan oleh pengadilan atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan persetujuan tanpa kehendak bebas).
Dengan kata lain, perjanjian tidak secara otomatis batal secara hukum, tetapi harus diminta pembatalannya melalui proses pengadilan.
Pembatalan perjanjian dapat terjadi sebagai konsekuensi dari ketidakpenuhan terhadap syarat subjektif (kesepakatan dan/atau kecakapan) sebagai syarat sah perjanjian.
2. Perjanjian yang Batal Demi Hukum
Perjanjian batal demi hukum berarti bahwa perjanjian tersebut tidak sah, sejak awal tidak pernah terbentuk suatu perjanjian, dan tidak ada ikatan hukum yang tercipta. Batal demi hukum juga dikenal dengan istilah null and void.
Pembatalan perjanjian demi hukum terjadi sebagai akibat dari ketidakpenuhan terhadap syarat objektif (suatu hal tertentu dan/atau sebab yang halal) sebagai syarat sah perjanjian.
Kesimpulan
Oleh karena itu, sebelum Anda terlibat dalam transaksi bisnis dan membuat perjanjian, penting bagi Anda untuk memenuhi keempat syarat sah perjanjian di atas.
Hal ini bertujuan agar perjanjian tersebut dapat dilaksanakan dengan baik oleh semua pihak terlibat.
Pengaturan yang jelas dalam perjanjian tersebut bertujuan untuk mengklarifikasi kerja sama atau transaksi yang terjadi, serta mencegah kerugian bagi semua pihak di masa depan.
Sebagai pemilik bisnis, Anda harus memberikan perhatian yang detail terhadap isi perjanjian. Jika Anda mengabaikan atau tidak membaca perjanjian secara lengkap, risiko terjadinya sengketa di masa depan akan semakin tinggi.
Sumber:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 tentang Gagasan Menganggap Burgelijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-undang.